Waktu dalam Dua Dunia: Pétungan Jawa dan Fisika Modern
Waktu
Dalam budaya Jawa, pétungan digunakan untuk memahami waktu dan menentukan momen penting dalam kehidupan, seperti pernikahan, pindah rumah, atau memulai usaha. Menariknya, penelitian Apricia Catur Prayuda, dengan pembimbing Rachmad Resmiyanto, M.Sc., menemukan bahwa konsep waktu dalam pétungan ternyata memiliki kesamaan dengan penjelasan fisika modern. Misalnya, orang Jawa percaya bahwa setiap individu memiliki “waktu baik” dan “waktu buruk” yang berbeda. Hal ini mirip dengan teori relativitas Einstein yang menjelaskan bahwa waktu bisa berbeda bagi setiap pengamat, tergantung pada kondisi geraknya.
Lebih jauh lagi, orang Jawa memandang waktu sebagai sesuatu yang berada di luar manusia dan peristiwa, sehingga ia bersifat nonmaterial. Pandangan ini sejajar dengan fisika klasik ala Newton yang menempatkan waktu sebagai sesuatu yang mutlak, tidak dipengaruhi oleh gerak, dan terus berjalan apa adanya. Dalam pewayangan, Bathara Kala bahkan digambarkan sebagai simbol waktu yang terus menggerus usia segala sesuatu, sejalan dengan hukum kedua termodinamika yang menyatakan bahwa entropi (ketidakteraturan) alam semesta akan selalu meningkat seiring berjalannya waktu.
Namun, penelitian ini juga menemukan adanya perbedaan mendasar. Dalam pétungan Jawa, waktu diyakini berakar dari “waktu azali” – waktu yang tidak berawal dan tidak berakhir. Pandangan ini jelas berbeda dengan fisika modern yang menegaskan bahwa waktu memiliki titik awal, yaitu sejak terjadinya Big Bang. Jadi, meskipun keduanya sama-sama berbicara tentang “relativitas waktu”, pijakan konsep yang digunakan berbeda.
Selain itu, perbedaan terlihat dalam cara pengukuran. Fisika modern mendasarkan relativitas waktu pada gerak relatif pengamat terhadap kerangka acuan, dengan hasil perhitungan yang pasti, kuantitatif, dan dapat dikorelasikan antar pengamat. Sementara itu, dalam pétungan Jawa, acuan utamanya adalah weton kelahiran seseorang, dengan hasil yang lebih bersifat kualitatif berupa kecenderungan, dan tidak bisa dibandingkan antarindividu. Dengan demikian, kajian ini memperlihatkan bagaimana kearifan lokal Jawa dan sains modern sama-sama berupaya menjelaskan hakikat waktu, meski dengan landasan dan tujuan yang berbeda.